Entri yang Diunggulkan

alasan mencintai

*Aku bisa jadi diriku sendiri kalau aku sama kamu *senang hanya berdua *Karena kamu bikin aku senang, senang, senang, senang yang ga pernah ...

Senin, 16 April 2012

sejarah perkembangan hukum islam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Arab pra islam adalah umat yang tidak mempunyai aturan, kebiadaban yang mengendalikan mereka, gelapnya kebodohan yang menaungi mereka dan tidak ada agama yang mengikat mereka, serta tidak ada undang-undang yag mereka patuhi. Hanya sedikit dari mereka yang berjalan dengan aturan yang dapat menyelesaikan perselisihan dikalangan mereka, kebiasaan yang baik dan langkah-langkah yang mulia. Sebagian aturan itu datang kepada mereka dari syariat nenek moyangnya yaitu nabi Ismail. Sebagian yang lain memeluk agama orang-orang Yahudi dan Nasrani yang ada dikalangan mereka, atau yang mengelilingi wilayah mereka, atau yang datang karena memenuhi kebutuhan hidup. Namun aturan tersebut ada yang serupa, bukanlah undang-undang tertulis yang dijadikan referensi dalam menyelesaikan perselisihan dan memelihara hak-hak mereka, tapi hanya ketetapan yang sedikit sekali pemanfaatanya, tidak cukup dalam merealisasikan aturan dan tidak dapat mencegah si pembuat kerusakan. Oleh karena itu penulis membuat makalah ini untuk membahas sejarah perkembangan hukum islam, sumber hukum pada masa itu serta pemikiran penetapan hukum islam pada masa Nabi Muhammad saw.. 1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas, dapat ditulis rumusan masalah sebagai berikut: 1) Bagaimana sejarah perkembangan hukum islam pada masa Nabi Muhammad saw.? 2) Apa saja yang menjadi sumber hokum pada masa Nabi Muhammad saw.? 3) Bagaimana pemikiran tentang penetapan hukum islam masa Nabi Muhammad saw.? 1.3 Tujuan Dari rumusan masalah di atas, dapat ditulis tujuannya yaitu: 1) Mengetahui sejarah perkembangan hukum islam pada masa Nabi Muhammad saw. 2) Mengetahui sumber-sumber hukum islam pada masa Nabi Muhammad saw. 3) Mengetahui pemikiran-pemikiran untuk menetapkan hukum islam masa Nabi Muhammad saw. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Sejarah Perkembangan pada Masa Nabi Muhhammad saw. a. Hukum islam di Makkah Al-Mukarramah Pada awal mulanya, islam berorientasi memperbaiki aqidah, karena aqidah merupakan fundamen yang akan berdiri diatasnya apapun bentuknya. Sehingga bila telah selesai tujuan yang pertama ini, ia lanjutkan dengan meletakkan aturan kehidupan. Karena itu, Al-Quran yang turun pada saat di Makkah (sebelum Hijrah) yang memperhatikan penolakan terhadap syirik dan mengajak untuk menuju tauhid, memuaskan masyarakat Makkah dengan kebenaran risalah yang disampaikan oleh para Nabi. Mengiringi mereka agar mengambil pelajaran dari umat-umat terdahulu, menganjurkan mereka agar memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan merenungkan ciptaan Allah, menganjurkan mereka agar membuang taklid pada nenek moyangnya, dan memalingkan mereka dari pengaruh kebodohan yang ditinggalkan oleh leluhurnya seperti pembunuhan, zina dan mengubur anak perempuan hidup-hidup. Mengajarkan mereka moral dan akhlak islam seperti keadilan, menepati janji, berbuat baik, tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa, bukan tolong-menolong dalam pelanggaran dan perbuatan dosa. Kebanyakan ayat-ayat Al-Quran itu meminta mereka dengan akal, yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya agar mereka mendapat petunjuk kebenaran dari dirinya sendiri. Mengingatkan mereka agar mereka tidak menyelisihi para Nabi, supaya tidak tertimpa adzab seperti apa yang ditimpakan pada umat-umat terdahulu yang mendustakan rasul-rasul mereka dan mendurhakai perintah Tuhannya. Kebutuhan orang-orang arab agar menjadi lunak atas penolakan mereka dan berjalan dalam konsep ketaatan yang belum mereka biasakan, serta jiwa mereka enggan untuk berbuat dosa. Pada masa ini, Al-Quran hanya sedikit memaparkan tujuan yang kedua, sehingga mayoritas masalah ibadah belum diisyaratkan kecuali setelah hijrah. Penyampaian Al-Quran seperti itu selama tiga belas tahun, sampai akidah meresap dalam jiwa sebagian besarnya dan terbias kesesatan syirik dihadapan cahayanya. Hayalan yang menentang telah tiada, demikian pula perselisihan dalam memikirkan keburukan. Pada saat itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengizinkan orang-orang mukmin dan Nabi Muhammad saw. untuk berhijrah ke Madinah, wilayah Anshar dan tanah air yang baru bagi kaum muslimin, serta tempat yang akan memberikan nuansa baru dalam menyiarkan agama Allah sampai selesai. b. Hukum Islam di Madinah Al-Munawwarah Dari masa itu (hijrah), tasyri’ Islam berorientasi pada tujuan yang kedua, maka diisyaratkan bagi mereka hukum-hukum yang meliputi semua situasi dan kondisi, dan yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan, baik individu maupun kelompok pada setiap daerah, baik dalam ibadah, muamalah, jihad, pidana, mawaris, wasiat, perkawinan, thalak, sumpah, peradilan dan segala hal yang menjadi cakupan ilmu fiqih. Proses pembentukan pada masa kenabian tidak dipaparkan peristiwa-peristiwa, menggambarkan kejadiaannya, mencari sebab-sebab pencabangannya, dan kodifikasi hukum-hukum, sebagaimana masa-masa akhir yang telah dimaklumi. Tetapi, pembentukan hukum pada masa ini berjalan bersama kenyataan dan pembinaan bahwa kaum muslimin, apabila menghadapi suatu masalah yang harus dijelaskan hukumnya, maka mereka kembali kepada Nabi Muhammad saw. Terkadang Nabi Muhammad saw memberi fatwa kepada mereka dengan suatu ayat atau beberapa ayat (wahyu) yaitu diturunkan Allah kepadanya, terkadang dengan hadist hukum dan pengamalannya. Atau sebagian mereka melakukan suatu perbuatan lalu Nabi Muhammad saw. menetapkan takrir hal itu, jika hal itu benar. Barangkali anda bertanya-tanya, bagaimana dikatakan bahwa sumber hukum pada masa kenabian, hanyalah Al-Quran dan sunnah saja. Akan tetapi telah diakui bahwa Nabi Muhammad saw. telah berijtihad dalam sebagian hukum dan mengakui ijtihad sahabat dalam sebagian yang lain. Diantaranya; pertama, ketika dalam perang tabuk Nabi Muhammad saw. mengizinkan orang-orang yang udzur berjihad dari kalangan orang-orang munafik untuk tidak ikut perang. Kedua, kesepakatan Nabi Muhammad saw. terhadap pendapat Abu Bakar dalam menerima tebusan tawanan perang Badar. Dengan demikian, mungkin ijtihad pada masa awal dapat dikategorikan salah satu sumber hukum di samping Al-Quran dan Sunnah. Dapat dijawab, bahwa Nabi Muhammad saw. berijtihad ketika ada kebutuhan dan terlambat datangnya wahyu, kemudian turun wahyu setelah itu yang menguatkan ijtihadnya atau mengingatkan segi-segi kesalahannya, jadi wahyu adalah referensi dalam ijtihadnya. Sedangkan ijtihad sahabat juga demikian, dilakukan ketika mereka kesulitan menemui Nabi Muhammad saw. atau khawatir momentum hilang. Tatkala mereka kembali kepada Nabi Muhammad saw. menjelaskan segi-segi hukum yang mereka ijtihadkan itu benar atau salahnya. Referensi dalam ijtihad mereka adalah sunnah dengan demikian, tidak dapat dikategorikan salah satu sumber hukum pada masa itu. Penjelasan ini akan dipaparkan lebih detail lagi pada pembehasan tentang ijtihad. 2.2 Sumber-sumber Hukum Islam Sumber adalah asal sesuatu. Sumber hukum Islam adalah asal (tempat pengambilan) hukum Islam. Sumber mhukum Islam pada masa Rasulullah yaitu: 1) Al-Quran Al-Karim Al-Quran adalah kitab suci yang berisi wahyu Ilahi yang menjadi pedoman hidup kepada manusia yang tidak ada keragu-raguan di dalamnya. Selain itu, Al-Quran menjadi petunjuk yang dapat menciptakan manusia menjadi bertakwa (predikat yang tertinggi di hadapan Allah) kepada Allah swt. Oleh karena itu, Al-Quran banyak mengemukakan prinsip-prinsip umum yang mengatur kehidupan manusia dalam beribadah kepada Allah SWT, meskipun kegiatan muamalah terjadi secara interaktif antara sesama makhluk, termasuk alam semesta. Namun Al-Quran dan Al-Hadist tetap menjadi hukum dasar yang harus dipedomani oleh manusia berdasarkan prinsip bahwa semua kegiatan itu berada dalam kegiatan beribadah kepada Allah SWT. Dengan demikian, semua perbuatan manusia adalah ibadah kepada Allah sehingga tidak boleh bertentangan dengan hukum-Nya, dan ditujukan untuk mencapai keridaan-Nya. Al-Quran sebagai pedoman yang abadi bagi kehidupan manusia mempunyai tiga jenis petunjuk, yaitu sebagai berikut: Pertama, ajaran yang di dalamnya memberi pengetahuan tentang struktur dan kenyataan manusia. Ajaran yang dimaksud adalah yang berisi petunjuk akhlak atau moral serta hukum atau syariat, yang mengatur kehidupam manusia sehari-hari. Ajaran itu juga mengandung metafisika tentang Tuhan, kosmologi tentang alam semesta serta kedudukan berbagai makhluk dan benda di dalamnya, dan membicarakan kehidupan di akhirat. Selain itu, mengandung ajaran tentang kehidupan manusia, tentang sejarah dan eksistensi manusia serta arti dari keduanya. Ia mengandung segala pelajaran yang diperlukan oleh manusia untuk mengetahui siapa dirinya, di mana ia berada dan kemana ia pergi. Karena Al-Quran adalah dasar dan hukum Tuhan dan pemgetahuan metafisika. Kedua, Al-Quran berisi petunjuk yang menyerupai ringkasan sejarah manusia baik rakyat biasa, raja, orang-orang suci, maupun Nabi dan Rasul Allah swt. sepanjang zaman yang mereka ditimpa cobaan. Walaupun petunjuk itu dalam bentuk sejarah, tetapi ditujukan kepada manusia. Petunjuk yang dimaksud, diturunkan kepada manusia yang telah lalu. Para pendusta yang mendustakan kebenaran Al-Quran dan agama Islam selalu ada pada setiap saat, begitu pula mereka yang mengingkari Tuhan ataupun mereka yang berada di jalan lurus. Mereka yang diberi siksa-Nya dan mereka yang diberi karunia-Nya selalu ada pada setiap ruang dan waktu. Jadi, Al-Quran adalah petunjuk tentang kehidupan manusia dimulai dengan kelahiran dan diakhiri dengan kematian. Dimulai dari-Nya dan kembali kepada-Nya. Ketiga, Al-Quran berisi sesuatu yang sulit dijelaskan dalam bentuk bahasa biasa, ayat-ayat Al-Quran berasal dari firman Allah swt, mengandung kekuatan yang berbeda dari apa yang kita pelajari dalam Al-Quran secara rasional. Ayat-ayat itu mempunyai kekuatan untuk melindungi manusia. Itulah sebabnya kehadiran fisik Al-Quran sendiri membawa berkah bagi manusia. Apabila seseorang muslim menghadapi kesulitan, ia membaca ayat-ayat tertentu di dalam Al-Quran untuk menenangkan dan menghibur hatinya. Menurut ajaran islam, membaca Al-Quran adalah salah satu jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan merupakan ibadah (H. Muhammad Daud Ali, 19991:73). 2) Al-Hadist (As-Sunnah) As-sunnah dalam dalam bahasa arab berarti tradisi, kebiasaan, adat istiadat. Dalam terminology Islam berarti perbuatan, perkataan, dan keizinan Nabi Muhammad saw. (af’alu, aqwalu, taqriru). As-Sunnah adalah sumber hukum Islam yang kedua sesudah Al-Quran. Kedudukan As-Sunnah adalah menafsirkan Al-Quran dan menjadi pedoman pelaksanaan yang autentik terhadap Al-Quran. Sebagaimana kita ketahui, bahwa di dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat yang masih mujmal (umum) maksudnya, maka ayat-ayat seperti ini masih memerlukan penjelasan yang diberikan oleh Rasulallah melalui sunnahnya. Karena fungsi sunnah terhadap Al-Quran adalah member menguatkan hukum yang ditetapkan oleh Al-Quran. Fungsi As-Sunnah terhadap ayat-ayat Al-Quran yang masih umum. Contohnya yaitu As-Sunnah memberikan batasan maksimal tentang wasiat yang dinyatakan Al-Quran: “Diwajibkan atas kamu apabila seorang di antara kamu kedatangan tanda-tanda maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu dan bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah ayat 80). Mengenai hal ini, As-Sunnah memberikan batas mengenai banyaknya wasiat agar tidak melebihi sepertiga dari harta yang ditinggalkan. Hal ini disampaikan Rasulallah saw. dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sa’ad bin Abi Waqash ra, yang menanyakan kepada Rasulallah saw. tentang jumlah wasiatnya, Rasulullah melarang memberikan wasiat seluruhnya, tetapi hanya menyetujui sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkan. Di masa kenabian, karena segala persoalan diselesaikan oleh Nabi, maka kata Harun Nasution, Nabi menjadi satu-satu sumber hukum. Secara langsung, pembuat hukum adalah Nabi, tetapi secara tidak langsung, Tuhanlah pembuat hukum, karena hukum yang dikeluarkan Nabi bersumber dari wahyu. 2.2.3 Pemikiran (Ijtihad) pada Masa Rasulullah Ijtihad adalah mencurahkan tenaga, memeras pikiran, berusaha sungguh-sungguh, bekerja semaksimal mungkin atau menggunakan seluruh kemampuan berpikir untuk menetapkan hukum Islam. Ijtihad dilihat dari pelaksanaannya dalam mengantisipasi ruang lingkup permasalahan yang muncul dan orang-orang yang dalam menngistinbatkan hukum dalam menyelesaikan persoalan dapat disebut ijtihad fardi dan ijtihad jam’i. Ijtihad fardi ialah setiap orang yang melakukan ijtihad yang kemudian mendapatkan persetujuan dari beberapa orang mujtahid disebut ijtihad yang bersifat regional. Sedangkan ijtihad jam’i ialah setiap ijtihad yang dilaksanakan oleh seseorang yang kemudian mendapat persetujuan dari seluruh orang yang memenuhi syarat berijtihad pada suatu Negara disebut ijtihad yang bersifat nasional. Orang Islam wajib mengikuti petunjuk Rasul. Di antara ayat yang menunjukan kewajiban ini adalah: ما اتاكم الرسول فخذوه وما نها كم عنه فانتهوا. الحشر:7 Apa saja yang dibawa oleh Rasulullah hendaknya kamu ambil dan apa yang dilarang olehnya hendaknya kamu tinggalkan. (al-hasyr: 7). Sehubungan dengan ijtihad Rasul, para ulama fiqih berpendapat bahwa Rasulullah saw. melakukuan ijtihad apabila Al-Quran tidak turun. Dan menurut mereka, Rasulullah pernah salah dalam ijtihadnya dengan bukti adanya teguran Al-Quran atas keputusanya menawan musuh setelah perang Badar. Ayat yang dimaksud adalah: ....... ما كان لنبيّ ان يكون لخ اسرى حتى يثخن في االارض. االانفال: 67 Tidak patut bagi Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi….(al-anfal:67) Kesalahan Nabi berijtihad itu tidak mengurangi wibawa kerasulanya yang bersifat ma’shum. Ma’shum artinya terhindar dari kesalahan. Ini justru menunjukan keistimewaan Rasul dibanding manusia biasa. Yaitu, ketika Rasul melakukan kesalahan, langsung diluruskan oleh Allah. Dengan ini Rasul tidak melakukan kesalahan yamg berkepanjangan. Sebenarnya bukan hanya Nabi Muhammad saw. yang mempunyai pengalaman semacam ini. Pada masa Rasulullah ternyata ijtihad itu dilakukan. Dilakukan oleh Rasulullah dan juga dilakukan oleh para sahabat bahkan adalah kesan Rasulullah mendorong para sahabatnya untuk berijtihad seperti terbukti oleh cara Rasulullah sering bermusyawarah dengan para sahabatnya dan juga dari kasus Muadz bin jabal yang diutus ke Yaman. Hanya saja ijtihad pada masa Rasulullah ini tidak seluas pada seperti pada masa sesudah Rasulullah, karena banyak masalah-masalah yang ditanyakan kepada Rasulullah kemudian langsung dijawab dan diselesaikan oleh Rasulullah sendiri. Disamping itu ijtihad para sahabatpun apabila salah, Rasulullah mengembalikan kepada yang benar. Seperti dalam kasus ijtihad Amar Bin Yasir yang berjunub (hadast besar) yang kemudian berguling-guling dipasir untuk menghilangkan hadast besarnya. Cara ini salah, kemudian Rasulullah menjelaskan bahwa orang yang berjunub tidak menemukan air, maka cukuplah dia bertayamum. Ijtihad Rasulullah dan pemberian izin kepada para sahabat untuk berijtihad memberikan hikmah yang besar karena: “Memberikan contoh bagaimana cara beristinbat dan memberi latihan kepada para sahabat bagaimana cara penarikan hukum dari dalil-dalil yang kulli, agar para ahli hukum islam (para Fuqaha) sesudah beliau dengan potensi yang ada padanya bisa memecahkan masalah-masalah baru dengan cara mengembalikannya kepada prinsip-prinsip yang ada dalam Al-Qur’an dan Assunnah”. Dengan jalan meneliti segala hukum yang ditetapkan Rasulullah, dapatlah kita menetapkan, bahwa Rasulullah pernah menetapkan hukum dengan cara ijtihad dan memberi fatwa yang bukan dengan wahyu, terutama dalam urusan yang tak ada sangkut-pautnya dengan halal dan haram. Didalam hal ini adakalanya ijtihad Rasulullah itu benar dan adakalanya salah. Jika ijtihad beliau salah segera mendapat teguran dari Allah swt. Dengan pembetulan dari wahyu. Ahli-ahli fikir islam berbeda pendapat mengenai ijtihad Rasulullah yang tidak berdasarkan wahyu. Ada diantara ulama yang tidak membolehkan Rasulullah berijtihad yang berhubungan dengan halal dan haram. Demikian juga dengan golongan Asy’ariyah, kebanyakan Mu’tazilah dan Mutakallimin. Golongan yang lain membolehkan Rasulullah berijtihad dalam menghadapi hukum-hukum yang tidak ada wahyu. Demikianlah pendapat Ulama Hadist dan Ulama Ushul. Pendapat yang dipandang kuat dalam hal ini ialah pendapat para Fuqaha’ yang menetapkan bahwa Rasulullah boleh berijtihad dalam soal-soal peperangan dan hukum-hukum syara’. Dalam hal ini Rasulullah terpelihara dari kesalahan yang kekal. Karena apabila ijtihad beliau itu salah, wahyu segera datang membetulkannya. Sejarah islam menunjukkan, bahwa sebagian sahabatpun berijtihad dimasa Rasulullah dan mempergunakan ijtihadnya didalam urusan-urusan peperangan, bahwa Rasulullah adalah orang yang mempunyai wewenang menetapkan hukum. Jika ada seorang sahabat berijtihad, maka ijtihadnya itu dikemukakan kepada Rasulullah. Ringkasnya, sumber fiqh dimasa Nabi hanyalah wahyu, walaupun kita menetapkan bahwa nabi boleh berijtihad. Karena Allah tidak membiarkan ijtihad Nabi itu apabila ijtihad Nabi itu salah. Dan hukum-hukum yang diijtihadkan Nabi itu adakalanya merupakan sebuah fatwa atau jawaban dari suatu pertanyaaan, dan adakalanya penjelasan suatu pertengkaran. Adanya ijtihad dimasa Nabi menyatakan bahwa ijtihad itu boleh, tapi yang harus diingat bahwa ijtihad dimasa Rasulullah itu selalu dibimbing oleh wahyu. Diantara ijtihad-ijtihad yang dilakukan para sahabat pada masa Rasulullah adalah sebagai berikut: a. Pada suatu hari Rasulullah bersabda kepada ‘Amar Bin ‘Ash: “Putuskanlah perkara ini!!”. ‘Amar Bin ‘Ash berkata: “Apakah saya berijtihad sedangkan Tuan hadir disisni?”. Nabi menjawab: “Ya”, berijtihadlah, apabila hakim memutuskan perkara, kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala. Dan apabila keputusan hakim salah maka ia mendapatkan satu pahala.” b. Dikala Muadz Bin Jabal diutus Nabi untuk jadi hakim di Yaman, terjadilah persoalan jawab antara belian dengan Muadz. Nabi bertanya: “Dengan apa engkau menghukumi?” Muadz menjawab: “Dengan kitab Allah.” Nabi bertanya: “Apabila tidak kau dapati?” Muadz menjawab: “Dengan sunnah Rasul-Nya.” Nabi bertanya: “Apabila tidak kau dapati?” Muadz menjawab: “Saya akan berijtihad dengan pikiran saja.” Maka Nabipun bertahmid: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah yang diridhai oleh-Nya.” BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Ajaran Islam dinyatakan telah sempurna beberapa waktu sebelum Rasululloh wafat. Ajaran ini dipersiapkan untuk memberi jawaban atas berbagai persoalan yang mungkin akan timbul kapan saja dan di mana saja. Melihat corak kehidupan masyarakat manusia berbeda karena perbedaan lokasi dan kurun waktu, maka nilai suatu masyarakat dengan masyarakat lain boleh berbeda. Tentang kesempurnaan disini harus dipahami bahwa jumlah nas, baik Al-Quran maupun Al-Hadits terbatas, tidak ada produk nas sesudah Nabi wafat. Harus dipahami pula disini bahwa kurun waktu turunya Islam terbatas, kurang lebih 23 tahun. Kalau demikian kesempurnaan ajaran Islam adalah yang berwujud prinsip umum. Sedangkan keputusan tertentu di masa Nabi yang berkaitan dengan kasus-kasus dipandang sebagai contoh pelaksanaan prinsip umum tersebut. Di masa Nabi, problem keagamaan yang dihadapi oleh para sahabat dapat segera ditanyakan kepada Nabi untuk dicari jawabanya. Sumber hukum yang ditinggalkan Nabi untuk zaman-zaman sesudahnya ialah Al-Quran dan Sunnah Nabi. 3.2 Saran Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna baik penulisan kata, kalimat serta yang terpenting isinya. Oleh karena itu, kami mengharap kritik atau saran dari segala pihak yang bersifat membangun agar dalam penulisan selanjutnya dapat lebih baik. Daftar Pustaka Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1967. Pengantar Ilmu Fiqh. Djakarta: CV. Mulja. Zuhri, Muhammad. 1996. Hukum Islam dalan lintasan Sejarah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. As-Sayis, Muhammad Ali. 2003. Sejarah Fikih Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Ali, Zainuddin. 2006. Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia). Jakarta: Sinar Grafika. Djazuli. 1993. Ilmu Fiqh (Sebuah Pengantar). Bandung: PD Percetakan Orba Shakti Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar